Lompat ke isi utama

Berita

Noda Pemilu dalam PSU

Ayi Jufridar, Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Panwaslih Kota Lhokseumawe

Ayi Jufridar, Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Panwaslih Kota Lhokseumawe

BANYAKNYA rekomendasi pemungutan suara ulang (PSU) menjadi salah satu fenomena paling menonjol dalam gelaran Pemilu 2024 di Aceh. Secara keseluruhan, Panwaslih menganjurkan 32 pemungutan suara ulang di seluruh Aceh, kendati dalam perkembangannya tidak seluruhnya dilaksanakan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan berbagai pertimbangan, termasuk di antaranya keterbatasan surat suara. Di beberapa daerah, rekomendasi PSU ada yang diturunkan menjadi  penghitungan suara ulang.

Meningkatnya jumlah PSU dibandingkan beberapa pemilu sebelumnya, bisa dilihat dari berbagai sudut. Pertama, ini membuktikan ada masalah dalam pemungutan dan penghitungan suara. Panwaslih mensinyalir ada tata cara yang dilanggar, baik itu disengaja maupun tidak.

Mungkin masyarakat pemilih bisa menolerir kekeliruan yang disebabkan karena penyelenggara belum paham atau kurang cermat. Biasanya, penyelesaian masalah yang disebabkan karena kelalaian juga bisa dilakukan dengan cepat dan mudah setelah menemukan akar permasalahannya, tetapi tidak dengan kesalahan yang disebab oleh kecurangan penyelenggara, baik yang didesain sendiri maupun berkolaborasi dengan peserta pemilu.

Kedua, membanjirnya rekomendasi PSU juga bisa dimaknai sebagai keberhasilan Panwaslih dalam melakukan pengawasan pemungutan suara. Dalam pengawasan setiap tahapan, Panwaslih menitikberatkan pada pencegahan daripada penindakan. Upaya pencegahan yang dilakukan untuk meminimalisir bahkan menghilangkan dampak dari pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

Panwaslih harus memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dalam setiap tahapan pemilu, apalagi pelanggaran dalam pemungutan dan penghitungan suara merupakan sebuah kejahatan paling buruk dalam pemilu karena merusak konversi suara menjadi kursi (Totok Hariyono, 2023). Panwaslih harus mencegah setiap upaya untuk mengalahkan yang menang dan memenangkan yang kalah melalui jalan curang.

Mengapa PSU?

Namun, tidak semuanya PSU terkait dengan kecurangan atau pelanggaran pemilu. Pasal 372 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu menyebutkan pemungutan suara ulang di TPS dalam diulang bila terjadi bencana dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat digunakan. Artinya, secara yuridis PSU dimungkinkan meski tidak ada kecurangan dalam tahapan pemungutan suara.

Di luar bencana alam dan kerusuhan, pemungutan suara ulang dilakukan karena pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam aturan. Norma ini membuka peluang PSU yang lebih luas terhadap keseluruhan tahapan pemungutan dan penghitungan yang terkadang bersifat sangat teknis di lapangan. Terkadang, kasus-kasus tersebut membutuhkan kajian lebih dalam karena kejadian di TPS tidak terhubung langsung dengan frasa dalam perundang-undangan.

Penyebab PSU lainnya adalah karena petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat pada surat suara yang digunakan. Tindakan haram ini dilakukan dengan maksud tertentu, baik untuk dijadikan bukti bahwa pemilih sudah mencoblos calon tertentu, atau untuk kepentingan lainnya. Intinya, aspek kerahasiaan yang menjadi asas utama dari pemilu sudah ternodai.

Dalam kasus lain, PSU digelar karena KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut tidak sah. Terakhir, pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan namanya tidak masuk daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan. Kasus ini pun pernah menjadi penyebab dilaksanakan PSU dalam Pemilu 2019 lalu di Aceh.

Menilik beberapa rekomendasi PSU di Aceh dalam Pemilu 2024 ini, banyak ditemukan adanya pemilih yang menggunakan hak pilih lebih dari satu kali. Selain harus dilaksanakan pemungutan suara ulang, tindakan mencoblos lebih dari satu kali termasuk pidana pemilu. Pelakunya bisa dipidana penjara paling lama 18 bulan dan denda paling lama Rp 18 juta.

Noda pemilu

Kendati adanya ancaman pidana, tetap ada saja petugas KPPS yang mencari peluang menggunakan hak pilih dua kali. Ada kasus yang kemudian luput dari perhatian pengawas TPS dan baru diketahui setelah penghitungan suara. Dalam kasus di TPS nomor 13 di Kampung Jawa Lhokseumawe, jumlah surat suara sah dan tidak sah melampaui jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih.

Mirisnya lagi, jumlah surat suara yang digunakan tidak sama untuk semua jenis pemilihan. Contohnya, di TPS 13 terdapat  217 pemilih yang menggunakan hak pilih di TPS, tetapi terdapat 255 surat suara sah dan tidak sah untuk pemilih calon presiden/wakil presiden. Ini membuktikan petugas KPPS tidak terlalu paham aturan sehingga kecurangan mereka mudah dibuktikan. Mereka belum paham atau kurang menyadari bahwa jumlah suara sah dan tidak sah, sama dengan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih.

Tingkat partisipasi pemilih dalam PSU tidak selalu sama dengan pemilih di jadwal normal. Biasanya lebih rendah, kecuali ada mobilisasi dari peserta pemilu. Sementara, pemilih yang masuk daftar pemilih tambahan (DPTb) dan daftar pemilih khusus (DPK), bisa jadi tidak lagi menggunakan hak pilih karena alasan pekerjaan dan tidak lagi berada di lokasi TPS.

Adanya PSU membuat mereka tidak lagi bisa menggunakan hak pilih, karena belum tentu PSU digelar pada hari libur. Bagi peserta pemilu yang mendapatkan suara murni dan bisa mendapatkan kursi meskipun dengan data sementara, pelaksanaan PSU jelas sebuah kerugian besar. Inilah mengapa di beberapa kabupaten/kota di Aceh, ada partai yang menolak bahkan memaksa Panwaslih untuk membatalkan PSU.

Tindakan petugas KPPS yang menyebabkan banyak rekomendasi pemungutan suara ulang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu 2024. Petugas KPPS selaku penyelenggara yang berada di garis depan untuk menggelar pemilu yang bersih, jujur, dan adil, justru mengotorinya dengan menggunakan hak pilih lebih dari satu kali. Di wilayah perkotaan dengan tingkat pengawasan partisipatif yang tinggi masih ada upaya mencurangi pemilu dengan cara sadis. Bisa dibayangkan dengan bagaimana situasinya di sejumlah TPS terpencil dengan tingkat pengawasan yang lebih rendah.

Pelanggaran ini tidak terjadi dengan sendirinya tanpa kerja sama dengan peserta pemilu yang memang sejak awal sudah menyadari besarnya peran KPPS dalam mendulang suara dengan cara kotor. Peserta pemilu merekomendasi para penyelenggara adhoc mulai dari KPPS, panitia pemungutan suara (PPS) di desa, sampai panitia pemilihan kecamatan (PPK) untuk memudahkan terjadinya manipulasi perolehan suara.

aDengan menguasai struktur penyelenggara mulai dari tingkat TPS, mereka bisa merancang dan menyembunyikan kecurangan, meski sistem pemilu sudah didesain sedemikian terbuka dengan tingkat partisipasi publik yang aksesibel.

Meski PSU tidak mampu menyelamatkan semua aspek, pelaksanaannya memberi kesempatan pengawasan lebih ketat dan mencegah terjadinya kecurangan yang mengotori demokrasi.
 

Penulis : AJ

Editor : Serambi Indonesia