Lompat ke isi utama

Berita

Kampanye Pemilu Go Green

Ayi Jufridar, Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Panwaslih Kota Lhokseumawe

Ayi Jufridar, Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Panwaslih Kota Lhokseumawe

Ayi Jufridar, Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Panwaslih Kota Lhokseumawe

DIBANDINGKAN dengan Pemilu 2019, durasi tahapan kampanye pada Pemilu 2024 lebih singkat dan menantang bagi peserta. Dengan durasi 74 hari—Pemilu 2019 sampai 6 bulan 3 pekan—peserta pemilu dituntut lebih kreatif mengoptimalkan waktu dan mengampanyekan gagasan kepada pemilih di tengah berubahnya perilaku pemilih.
Mencermati tahapan kampanye yang sudah berlangsung sejak 28 November 2023 lalu, pola kampanye terlihat berubah. Kampanye rapat umum dengan pengerahan massa sudah berkurang, sedangkan kampanye melalui media sosial cenderung meningkat.

Salah satu cara berkampanye yang masih tetap gencar dilakukan adalah melalui penyebaran alat peraga dan atribut. Caleg berlomba-lomba memperkenalkan diri melalui bahan kampanye yang dipasang di berbagai tempat, beberapa di antaranya di tempat yang melanggar mulai dari perkantoran pemerintah, fasilitas kesehatan, lembaga pendidikan, rumah ibadah, sampai pepohonan.

Menyiksa pohon

Memasang bahan kampanye di pepohonan menjadi pilihan banyak peserta pemilu karena dinilai lebih mudah dan lebih murah, serta berada di posisi strategis. Untuk memasang bahan kampanye  secara khusus, dibutuhkan kaki penyangga di kedua sisi sehingga membutuhkan biaya tambahan. Langkah praktis adalah dengan menggantungkannya di pohon bermodal paku dan palu.

Ada beberapa jenis perlakuan terhadap pohon berkaitan dengan pemasangan atribut kampanye. Ada yang sekadar mengikat dengan tali di pohon, ada yang menjadikannya sebagai sandaran, dan ada yang menyakiti pohon dengan paku sehingga meninggal luka yang dalam ketika dicabut dan ini adalah seburuk-buruk perlakuan.

Walakin, apa pun jenis perlakuannya, memasang bahan kampanye di taman dan pohon termasuk perbuatan dilarang (Pasal 23 huruf d Peraturan Bawaslu Nomor 11/2023 Tentang Pengawasan Kampanye).

Mengacu kasus di Lhokseumawe, misalnya, Panwaslih sejak awal sudah menyurati partai politik agar tidak memasang bahan kampanye di pohon. Imbauan itu juga sudah disiarkan dalam semua akun media sosial serta disampaikan beberapa kali dalam rapat lintas partai dan penyelenggara.

Dengan mengoptimalkan semua saluran, mustahil caleg bersangkutan tidak mengetahui larangan memasang bahan kampanye di pohon. Harusnya, tanpa adanya imbauan itu pun, para caleg sudah paham karena larangan itu juga bukan hanya tercantum dalam regulasi kepemiluan, melainkan juga dalam regulasi lingkungan hidup.

Di Lhokseumawe, tindakan pencegahan tersebut disertai dengan beberapa kali penertiban bahan kampanye dai pohon di jalan protokol. Namun tidak semuanya bisa ditertibkan karena sampai akhir 2023 lalu, jumlah  bahan kampanye di pohon mencapai 835 lembar. Itu baru di jalan-jalan utama di kota dan di kecamatan. Kalau dihitung sampai ke jalan desa, bisa jadi lebih banyak lagi, sebagaimana laporan Panwascam dan masyarakat luas.

Tingginya pelanggaran pemasangan bahan kampanye di pohon dan taman, diperkirakan karena sosialisasi kepada partai, baik tertulis maupun lisan, tidak sampai kepada caleg. Penghubung partai (liaison officer), menerima banyak pesan dari pertemuan dengan penyelenggara, tetapi disinyalir sedikit yang turun sampai kepada caleg.

Penyebab lainnya, caleg menyerahkan masalah bahan kampanye sepenuhnya kepada pihak ketiga yang belum tentu memahami regulasi kepemiluan dan lingkungan hidup, atau kalaupun paham, mereka mengabaikannya. Biaya pembuatan bahan kampanye sampai pemasangan, sepenuhnya ditangani pihak ketiga. Dalam praktiknya, pemasangan bahan kampanye dilakukan pada malam hari sehingga tidak ada pihak yang mengawasi. 

Ketika caleg bersangkutan dihubungi langsung soal bahan kampanye di pohon, mereka mengaku tidak tahu karena dipasang pihak ketiga atau tim kampanye. Harusnya caleg menjelaskan kepada pihak ketiga menyangkut lokasi pemasangan bahan kampanye yang dilarang. Jadi, bukan hanya menyalahkan pihak ketiga yang memasang bahan kampanye di sembarang tempat.

Ironisnya, pemasangan alat peraga kampanye di zona terlarang seperti di jalan protokol melibatkan izin dari pemerintah daerah karena pemasangan baliho membebankan biaya yang disetor ke kas daerah. Pemerintah daerah semestinya  menolak sejak awal meski di sisi lain memberikan penghasilan berupa pajak/retribusi reklame.

Potensi pelanggaran ini bisa sejak awal diantisipasi ketika pihak ketiga hendak memasang baliho di jalan protokol. Dinas terkait sejak awal sudah paham soal zona larangan tersebut karena jalan protokol ditetapkan berdasarkan peraturan bupati/wali kota bersangkutan.

Diskusi yang belum berakhir soal penertiban alat peraga kampanye yang di tempat terlarang adalah siapa yang berada di garda terdepan. Undang-Undang Nomor 7/2017 Tentang Pemilu menyebutkan KPU sebagai pihak yang bertugas dalam penertiban dan Bawaslu yang menentukan unsur pelanggaran, termasuk dalam penempatan alat peraga kampanye.

Dalam pelaksanaannya, beberapa daerah—termasuk di Lhokseumawe—membentuk tim penertiban yang terdiri dari berbagai unsur di pemerintahan, seperti Satpol PP dan dinas terkait, juga melibatkan Bawaslu serta KPU Daerah atau KIP kalau di Aceh. Tapi tetap saja, kesadaran caleg untuk tidak memasang alat peraga kampanye di tempat terlarang adalah unsur utama.

Masalah anggaran juga sering menjadi hambatan penertiban alat peraga kampanye, terutama baliho yang berukuran besar dan tinggi sehingga memerlukan alat berat untuk melepaskannya. Langkah antisipatif beberapa daerah yang menganggarkan sejak awal, termasuk biaya makan dan minum petugas penertiban, patut ditiru. Namun, ketiadaan anggaran bukan alasan untuk mengabaikan bahan kampanye yang salah tempat, termasuk yang digantung di pepohonan.

Tolak-tarik tanggung jawab yang terjadi saban musim kampanye menyangkut penertiban tentunya tidak perlu diperdebatkan. Ketua Bawaslu RI, Rahmad Bagja, sudah menegaskan lembaga yang dipimpinnya akan menertibkan sendiri bila KPU dan Satpol PP abai, dan itu sudah dilakukan di beberapa daerah.

Sanksi pemilih

Pelanggaran terhadap pemasangan bahan kampanye memang tidak berdampak langsung terhadap keabsahan calon atau calon itu akan terpilih atau tidak. Tindakan yang diambil badan pengawasan bersama Satpol PP sejauh ini belum menghilangkan perilaku penyiksaan terhadap pepohonan.

Penertiban terhadap bahan kampanye di pohon, seolah dinilai belum memberikan efek jera sehingga kasusnya selalu berulang dan berulang. Bahkan sudah ada alat peraga kampanye yang memakan korban pengguna jalan raya, selain menimbulkan polusi visual yang sangat mengganggu pemandangan.

Pada akhirnya, sanksi akan diberikan pemilih pada 14 Februari mendatang, ketika pemungutan dan penghitungan suara berlangsung. Pemilih dapat menggunakan kuasa dalam bilik suara untuk tidak mencoblos caleg yang terbukti telah menyakiti pepohonan.

Ingatan pemilih yang kuat akan terbawa pada hari penentuan dan mengarahkan alat pencoblos untuk menjauh dari nama serta partai yang tidak prolingkungan.